Sebuah peristiwa kekerasan seksual terjadi di Parigi Moutong. Diberitakan seorang remaja 15 tahun diperkosa 11 lelaki. Tidak hanya sekali tetapi terjadi beberapa kali dalam rentang waktu April 2022-Januari 2023.
Para terduga pelaku adalah orang-orang yang seharusnya melindungi remaja itu. Mereka adalah guru sekolah dasar, petani, kepala desa, wiraswasta, hingga seorang anggota Brimob.
Namun, fakta terbaru diungkap polisi. Bahwa yang dialami RO bukanlah kasus pemerkosaan melainkan persetubuhan anak di bawah umur. Sebab, hal itu dilakukan karena ada unsur iming-iming.
Direktur Jenderal HAM, Kemenkum HAM, Dhahana Putra menilai peristiwa itu sangat memprihatinkan. Tindakan para pelaku tergolong sebagai perbuatan keji dan pelakunya dapat dihukum seadil-adilnya.
“Kami yakin aparat penegak hukum dapat mengusut kasus ini sampai tuntas secara transparan dengan mengedepankan asas kepentingan terbaik bagi anak korban sehingga para pelaku perbuatan keji itu akan dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” ujar Dhahana dalam keterangan tertulisnya, Minggu (3/6).
Menurut Direktur Jenderal HAM, aparat penegak hukum tidak perlu ragu untuk mempertimbangkan UU Perlindungan Anak, UU Sistem Peradilan Pidana Anak, maupun UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai acuan dalam mendalami perkara. “Jelas bahwa Pasal 4 Ayat (2) UU 12 Tahun 2022 tentang TPKS disebutkan perkosaan atau persetubuhan terhadap anak dikategorikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” terangnya.
Dhahana menyatakan pihaknya juga berkoordinasi dengan DP3A Pemprov Sulawesi Tengah guna mendorong upaya-upaya pemenuhan HAM bagi anak perempuan yang menjadi korban kasus ini.
“Kami sudah minta Pak Direktur Yankomas agar segera berkoordinasi dengan DP3A Pemprov Sulawesi Tengah dan seluruh pihak terkait untuk menjamin mekanisme pemulihan yang komprehensif bagi anak perempuan yang menjadi korban, utamanya hak atas kesehatan fisik dan psikis,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dhahana juga mengungkapkan Direktorat Jenderal HAM bersama KemenPPPA dan para pemangku kepentingan lainnya tengah menggodok peraturan pelaksana UU TPKS setingkat Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden. Peraturan Pelaksana TPKS ini dipastikan akan memuat substansi HAM.
“Segala upaya untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual harus menjunjung tinggi prinsip HAM dengan kerangka yang komprehensif untuk mencegah kekerasan seksual, melindungi korban dan penyintas sekaligus mempromosikan perubahan sosial,”imbuh Dhahana.
Diyakini Dhahana, dengan adanya Peraturan Pelaksana dari TPKS ini maka akan semakin menguatkan komitmen guna mencegah maupun menangani persoalan tindak pidana kekerasan seksual di tanah air. “Kami yakin Peraturan Pelaksana ini juga akan membantu APH ke depan dalam menangani kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual,” pungkasnya.